Asal Usul Dusun Babadan
Puluhan tahun setelah letusan Gunung Merapi, sebuah wilayah di selatan gunung itu berkembang menjadi daerah yang subur dan makmur, sesuai dengan petunjuk yang diterima oleh Kyai Sapujagad. Di wilayah tersebut, Sendhang Panguripan menjadi tempat penting, di mana hasil pertanian melimpah, peternakan berkembang pesat, dan tanah-tanah menghasilkan panen yang berlipat ganda.
Salah satu dari lima belas petinggi Majapahit yang diutus oleh raja untuk menjaga ketenteraman wilayah tersebut adalah Ki Ranunggawa. Ia mampu membaur dan bersatu dengan masyarakat sekitar, menjalin hubungan yang harmonis. Selain menjaga wilayah, Ki Ranunggawa juga senang mempelajari ilmu "Kasantosan Batin Sangkan Parane Dumadi," sebuah ajaran yang menekankan pada ketenangan batin dan pemahaman tentang asal mula kehidupan.
Suatu hari, dalam sebuah tirakatan, Ki Ranunggawa mengingatkan warga untuk selalu bersyukur kepada Sang Pencipta atas kehidupan yang damai dan hasil bumi yang melimpah. Ia mengusulkan agar diadakan upacara adat tasyakuran setiap enam bulan sekali, yang dikenal dengan upacara “tebah”. Upacara ini bertujuan untuk menolak bencana serta memohon agar hasil pertanian tetap melimpah. Salah satu ritual yang dilakukan dalam upacara tersebut adalah sabung ayam, yang melambangkan penolakan terhadap nafsu amarah. Namun, tidak sembarang ayam jago dapat diadu. Ki Ranunggawa memerintahkan kedua anaknya, Surapraya dan Surawangsa, untuk menimbang ayam-ayam jago yang layak diadu. Tempat untuk menimbang ayam-ayam ini disebut “pambobotan”.
Tempat “pambobotan" ini kemudian menjadi nama dusun yang sekarang dikenal sebagai "Babadan," sebuah nama yang diwariskan dari tradisi yang dijalankan oleh Ki Ranunggawa dan keluarganya.